![]() |
Kalapas Kelas IIA Lhokseumawe Wahyu Prasetyo saat menyambangi warga binaan saat Ngopi Berwarna, Jumat 9 Mei 2025. |
Suaradiksi.com. Lhokseumawe — Jumat 9 Mei 2025, Matahari pagi baru saja mengintip di balik dinding tinggi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Lhokseumawe. Namun, suasana di dalamnya tak sesuram bayangan banyak orang tentang kehidupan di balik jeruji.
Di salah satu blok hunian, terdengar tawa dan obrolan hangat, bukan antara sesama narapidana, melainkan antara warga binaan dan para petugas pemasyarakatan. Di tangan mereka, secangkir kopi mengepul pelan. Inilah “Ngopi Berwarna”, sebuah pendekatan baru yang membawa angin segar di dunia pemasyarakatan.
“Ngopi Berwarna” atau Ngobrol Pagi Bersama Warga Binaan bukan sekadar minum kopi bersama. Di bawah kepemimpinan Kalapas Wahyu Prasetyo, program ini menjadi jembatan dialog antar manusia yang selama ini dipisahkan oleh struktur dan formalitas. Setiap pagi, selepas apel, Kalapas dan jajarannya menyambangi blok-blok hunian untuk berbincang langsung, tanpa meja, tanpa podium, hanya kehadiran yang setara.
“Dengan segelas kopi, percakapan menjadi lebih cair. Kami bisa mendengar keluhan, harapan, bahkan sekadar cerita ringan. Semua itu penting,” ungkap Wahyu dengan nada hangat.
Apa yang dibangun di sini bukan hanya komunikasi, tapi kepercayaan. Para warga binaan merasa dihargai, didengarkan, dan dilibatkan dalam proses perbaikan lingkungan mereka sendiri. Dari obrolan ringan inilah muncul solusi-solusi nyata, evaluasi terhadap sistem, bahkan antisipasi terhadap potensi gangguan ketertiban.
Program ini menjadi bukti nyata pergeseran paradigma pemasyarakatan. Lapas tak lagi hanya identik dengan hukuman, melainkan menjadi tempat pembinaan yang menyentuh sisi kemanusiaan. Di sinilah, kata Wahyu, harapan itu dirawat.
“Tujuan kami bukan sekadar membuat mereka patuh, tapi membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan siap kembali ke masyarakat,” tegasnya.
Di tengah kesunyian dan keterbatasan, kopi pagi menjadi momen kecil yang mengubah banyak hal. Lapas Lhokseumawe menunjukkan bahwa perubahan tak selalu harus megah, kadang cukup dengan secangkir kopi dan telinga yang mau mendengar.